Proses
Denaturasi Protein Dalam Tubuh
Denaturasi protein merupakan
suatu proses dimana terjadi perubahan atau modifikasi terhadap konformasi
protein, lebih tepatnya terjadi pada struktur tersier maupun
Protein Machines (Photo credit: Wikipedia)
kuartener dari protein. Pada struktur tersier protein misalnya, terdapat
empat jenis interaksi pada rantai samping seperti ikatan hidrogen, jembatan
garam, ikatan disulfida, interaksi non polar pada bagian
non hidrofobik.
Denaturasi protein terjadi bila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu
molekul protein berubah. Sebagian besar protein globuer mudah mengalami
denaturasi. Jika ikatan-ikatan yang membentuk konfigurasi molekul tersebut
rusak, molekul akan mengembang. Kadang-kadang perubahan ini memang dikehendaki
dalam pengolahan makanan, tetapi sering pula dianggap merugikan sehingga perlu
dicegah.
Ada dua macam denaturasi
1.
Pengembangan polipeptida
2.
Pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa
disertai pengembangan molekul.
Terjadinya kedua jenis denaturasi ini tergantung pada keadaan molekul :
ü Yang pertama
terjadi pada rantai polipeptida,
ü Yang kedua
terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder.
Ikatan-ikatan yang dipengaruhi oleh
proses denaturasi ini adalah :
(a) ikatan hidrogen
(b) ikatan hidrofobik misalnya pada
leusin, valin, fenilalanin, triptofan yang saling berdekatan membentuk suatu micelle
dan tidak larut dalam air
(c) ikatan ionik antara gugus
bermuatan (+) dan (-)
(d) ikatan intramolukuler seperti yang tedapat pada gugus disulfida dalam
sistin.
Denaturasi dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur
sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa terjadinya
pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Karena itu denaturasi dapat pula diartikan
suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam,
dan terbukanya lipatan molekul.
Pemekaran atau pengembangan lipatan molekul protein yang terdenaturasi akan
membuka gugus reaktif yang ada pada rantai polipeptida, selanjutnya akan
terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau berdekatan. Bia
unit ikatan yang terbentuk cukup banyak sehingga protein tidak lagi terdispersi
sebagai suatu koloid, maka protein tersebut mengalami koagulasi. Apabila
ikatan-ikatan pada gugus-gugus reaktif protein tersebut menahan seluruh cairan,
akan terbentuklah gel. Sedangkan bila cairan terpisah dari protein yang
terkoagulasi itu, protein akan mengendap.
Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Lapisan molekul protein
bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik ke luar, sedangakan bagian luar
yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam. Pelipatan atau pembalikan terjadi
khususnya bila larutan protein telah mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya
protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas akan bertambah karena molekul
mengembang dan menjadi asimetrik, demikian jua sudut putaran optik larutan
protein akan meningkat. Enzim-enzim yang gugus prostetiknya terdiri dari
protein akan kehilangan aktivitasnya sehingga tidak berfungsi lagi sebagai
enzim yang aktif.
Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu oleh panas,
pH ekstrim, bahan kimia, mekanik, beberapa pelarut organik seperti alkohol atau
aseton, urea, deterjen, dan lain-lain. Masing-masing cara mempunyai pengaruh
yang berbeda-beda terhadap denaturasi protein. Senyawa kimia seperti urea dan
garam guanidina dapat memecah ikatan hidrogen yang pada akhirnya menyebabkan
denaturasi protein. Dengan cara tersebut, urea dan garam guanidina dapat
memecah interaksi hidrofobik dan meningkatkan daya kelarutan gugus hidrofobik
dalam air. Deterjen atau sabun dapat menyebabkan denaturasi protein karena
senyawa ini dapat membentuk jembatan antara gugus hidrofobik dengan hidrofilik
sehingga praktis terdenaturasi.
Ciri-ciri suatu protein yang mengalami denaturasi bisa dilihat dari
berbagai hal, salah satunya:
1.
dari perubahan struktur fisiknya, protein yang
terdenaturasi biasanya mengalami pembukaan lipatan pada bagian-bagian tertentu.
2.
Selain itu, protein yang terdenaturasi akan berkurang
kelarutannya. Lapisan molekul yang bagian hidrofobik akan mengalami perubahan
posisi dari dalam ke luar, begitupun sebaliknya. Hal ini akan membuat perubahan
kelarutan.
Masing-masing penyebab denaturasi protein juga mengakibatkan ciri
denaturasi yang spesifik:
ü Panas
Panas dapat mengacaukan ikatan
hidrogen dari protein namun tidak akan mengganggu ikatan kovalennya. Hal ini
dikarenakan dengan meningkatnya suhu akan membuat energi kinetik molekul
bertambah. Bertambahnya energi kinetik molekul akan mengacaukan ikatan-ikatan
hidrogen. Dengan naiknya suhu, akan membuat perubahan entalpi sistem naik.
Selain itu bentuk protein yang terdenaturasi dan tidak teratur juga sebagai
tanda bahwa entropi bertambah. Entropi sendiri merupakan derajat
ketidakteraturan, semakin tidak teratur maka entropi akan bertambah. Pemanasan
juga dapat mengakibatkan kemampuan protein untuk mengikat air menurun dan
menyebabkan terjadinya koagulasi.
ü asam dan
basa
Seperti telah diketahui bahwa protein
dapat membentuk struktur zwitter ion. Protein juga memiliki titik isoelektrik dimana jumlah muatan positif dan
muatan negatif pada protein adalah sama. Pada saat itulah, protein dapat
terdenaturasi yang ditandai dengan membentuk gumpalan dan larutannya menjadi
keruh. Pada saat ini entalpi pelarutannya akan menjadi tinggi, karena jumlah
kalor yang dibutuhkan untuk melarutkan sejumlah protein akan bertambah.
Mekanismenya adalah penambahan asam dan basa dapat mengacaukan jembatan garam
yang terdapat pada protein. Ion positif dan negatif pada garam dapat berganti
pasangan dengan ion positif dan negatif dari asam ataupun basa sehingga
jembatan garam pada protein yang merupakan salah satu jenis interaksi pada
protein, menjadi kacau dan protein dapat dikatakan terdenaturasi.
ü Logam-logam
berat
Dengan adanya logam-logam berat itu
akan terbentuk kompleks garam protein-logam. Kompleks inilah yang membuat
protein akan sulit untuk larut. Dan sama dengan ketika protein terdenaturasi
akibat asam dan basa, entalpi pelarutannya akan naik. Protein bermuatan negatif
atau protein dengan pH larutan di atas titik isoelektrik
akan diendapkan oleh ion positif atau logam lebih mudah. Sebaliknya, protein
bermuatan positif dengan pH larutan di bawah titik isoelektrik membutuhkan
ion-ion negatif. Contoh ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein misalnya
Ag+, Ca2+, Zn2+, Hg2+, Fe2+,
Cu2+, dan Pb2+.
Contoh ion-ion negatif yang dapat
mengendapkan protein misalnya ion salisilat, trikloroasetat, piktrat, tanat,
dan sulfosalisilat. Namun selain membentuk kompleks garam protein-logam yang
sukar larut, logam berat dapat menarik sulfur pada protein sehingga mengganggu
ikatan disulfida dalam protein dan menyebabkan protein terdenaturasi pula.
Gangguan pada ikatan disulfida
selain disebabkan oleh logam berat juga dapat disebabkan oleh agen-agen
pereduksi. Agen pereduksi ini bisa menyebabkan ikatan disulfida putus dan dapat
membentuk gugus tiol (-SH) dengan penambahan atom hidrogen. Selain ikatan
disulfida, ikatan lain yang apabila terganggu dapat menyebabkan denaturasi
protein adalah ikatan hidrogen. Dengan adanya alkohol dapat merusak ikatan
hidrogen antar rantai samping dalam struktur tersier suatu protein.
Selain itu, alkohol juga dapat
mendenaturasi protein. Alkohol seperti kita ketahui umumnya terdapat kadar 70%
dan 95%. Alkohol 70% bisa masuk ke dinding sel dan dapat mendenaturasi protein
di dalam sel. Sedangkan alkohol 95% mengkoagulasikan protein di luar dinding
sel dan mencegah alkohol lain masuk ke dalam sel melalui dinding sel. Sehingga
yang digunakan sebagai disinfektan adalah alkohol 70%. Alkohol mendenaturasi
protein dengan memutuskan ikatan hidrogen intramolekul pada rantai samping
protein. Ikatan hidrogen yang baru dapat terbentuk antara alkohol dan rantai
samping protein tersebut.
Kehadiran logam-logam berat,
asam-basa tertentu, alkohol dan bahan-bahan lain yang dapat memicu terjadinya
denaturasi (atau dapat disebut sebagai bahan denaturan) dapat mengganggu
kestabilan protein yang pada umumnya berada pada keadaan folded.
Keberadaan denaturan yang mengikat pada protein folded tersebut dapat
menaikkan entropi dari rantai protein sehingga terjadi reaksi dari bentuk folded
menjadi unfolded. Namun sebenarnya perubahan dari keadaan folded
menjadi unfolded tidak sepenuhnya diakibatkan keberadaan denaturan. Pada
kondisi-kondisi ekstrim tertentu yang tidak bisa ditoleransi oleh protein, maka
protein juga akan mengubah dirinya dari keadaan folded ke keadaan unfolded.
Keadaan seperti ini berjalan reversibel dengan sangat lambat.
Pada keadaan protein terlipat atau folded,
bagian yang hidrofilik akan berada di luar sedangkan bagian yang hidrofobik
akan berada di bagian dalam. Hal ini memungkinkan protein dapat larut dalam
pelarut polar seperti air. Namun saat protein terdenaturasi, terjadi pembalikan
posisi menjadi bagian hidrofobik yang berada di luar. Pada saat inilah protein
tidak bisa larut dalam air dan berada pada kondisi energi yang tinggi karena
air akan berusaha melarutkan bagian yang hidrofobik tersebut padahal karena perbedaan
kepolaran air dan bagian hidrofobik itu tidak akan larut. Oleh karena itu
protein terdenaturasi akan berusaha segera kembali ke keadaan stabil atau
energi rendah kembali. Apabila struktur protein tersebut terlalu kompleks,
salah satu jalan untuk membuat kondisi energinya menjadi rendah kembali adalah
dengan menggumpalkan dirinya. Dengan konformasi tergumpal, maka seluruh bagian
hidrofobik dari protein tidak akan berinteraksi lagi dengan air yang terus
berusaha melarutkannya, sehingga dapat dikatakan konformasi seperti ini lebih
stabil.
Dalam pandangan klasik mengenai dua
kondisi pelipatan protein, sebuah protein dikatakan berada dalam kondisi
kesetimbangan dinamis antara suatu kondisi terlipat (folded state) yang
kompak dengan energi dan entropi rendah serta suatu kondisi entropi tinggi yang
secara struktural ditandai dengan konformasi tidak teratur berenergi tinggi
yang dikenal juga sebagai kondisi tidak terlipat (unfolded state)
Kemudian seperti telah dibahas
sebelumnya bahwa proses perubahan dari folded ke unfolded
berjalan reversibel namun sangat lambat berarti memungkinkan terjadi proses
renaturasi. Proses renaturasi atau pengembalian struktur dari struktur protein
terdenaturasi menjadi struktur protein awal bisa saja terjadi. Namun, perlu
diingat apabila struktur protein awal terlalu kompleks, maka proses renaturasi
atau refolding tersebut akan berlangsung sangat lambat dan sulit.
Contohnya kebutuhan akan protein
bertambah pada perempuan yang mengandung dan atlet. Kekurangan protein dapat
terjadi denaturasi yang bisa berakibat fatal antara lain dapat menimbulkan
penyakit kwarsiorkor(busung lapar). Kekurangan protein secara terus menerus
dapat menyebakan marasmus yang dapat mengakibatkan kematian
SUMBER: